Tuesday, July 26, 2016

HARI ANAK NASIONAL : KONVENSI HAK ANAK DAN EMANSIPASI PEREMPUAN

Oleh : Resna Natamihardja

     Belasan tahun silam saya pernah mengirimkan pendapat untuk sebuah rubrik opini di halaman khusus anak muda di sebuah surat kabar cetak nasional.  Sebuah opini dalam rangka menyambut hari anak nasional pada tahun tersebut.  Karena waktu itu baru merampungkan pendidikan dan belum menikah, yang disoroti adalah tentang pemenuhan hak anak, kekerasan pada anak dan hal - hal tentang anak yang menjadi wacana pada waktu itu.  Sekarang saya adalah seorang ibu yang sedang mencoba berkompromi dengan keadaan.  Saya melihat sebuah paradoks ketika bicara tentang hak anak dan emansipasi wanita.

     Secara garis besar hak anak yang tercantum dalam konvensi tentang hak anak yang disepakati oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989 bisa dikelompokkan kedalam empat kategori sebagai berikut :

Add caption
Pertama, hak untuk tumbuh dan berkembang
Yang termasuk di dalamnya adalah hak untuk mendapatkan makanan yang layak (bergizi baik), perumahan, air bersih, pendidikan formal, pelayanan kesehatan, waktu senggang untuk bersenang senang dan rekreasi, kegiatan kebudayaan dan informasi tentang hak - hak mereka.

Kedua, hak untuk mendapat perlindungan
Hak ini termasuk perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan pada anak, pengabaian, eksploitasi dan kekejaman.

Ketiga, hak untuk berpartisipasi
Setiap anak berhak mengungkapkan pendapatnya dalam hal - hal yang mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, keagamaan, kebudayaan dan  politik mereka.  Hak untuk berpartisipasi juga termasuk hak untuk mengungkapkan pendapat dan hak untuk didengarkan, hak untuk mendapatkan informasi dan kemerdekaan berkumpul.


Dan keempat, hak hak lain sebagaimana hak asasi manusia pada umumnya.

     Selain kewajiban pemerintah untuk menyediakan dukungan untuk terpenuhinya hak - hak tersebut, orang tua dan anak harus saling menghargai satu sama lain, pengertian setiap anak akan berbeda tergantung usia dan setiap orang tua harus menyesuaikan diri dengan usia dan kedewasaan anak.    

    Catatan ini berawal dari  kegelisahan seorang ibu yang seringkali tidak bisa hadir dalam saat - saat penting dalam hidup anaknya.  Seorang ibu yang harus mendengar dan melihat sorot kecewa dari mata anaknya karena kerap tidak bisa memenuhi harapan akan kehadiran dirinya dalam momen - momen istimewa anaknya.

     Tulisan ini tidak ditujukan untuk ibu - ibu yang terpaksa harus menjalankan fungsi ganda sebagai ibu rumah tangga dan wanita bekerja karena pertimbangan kondisi ekonomi keluarga, karena mungkin hanya akan menambah beban fikiran mereka.  Tulisan ini ditujukan untuk ibu - ibu yang berada diambang dilema antara memilih karier atau rumah tangga.  Ibu - ibu yang masih memiliki kesempatan untuk memilih yang lebih baik untuk putra - putrinya.  Dan mengajak ibu - ibu yang merasa telah menempuh pendidikan tinggi namun tidak memiliki kesempatan untuk berada dalam dunia kerja untuk bersyukur atas kesempatan penuh untuk mendampingi putra - putri mereka.  Atau jika ada kesempatan untuk bekerja di rumah dengan waktu yang fleksibel akan lebih baik.

     Emansipasi perempuan dalam bidang pendidikan sebelum mereka memasuki dunia rumah tangga mungkin adalah hal yang sangat positif.  Karena dengan pendidikan yang lebih baik akan meningkatkan kualifikasi perempuan ketika akan menjadi istri atau ibu.  Pendidikan ini bisa mencakup pendidikan  formal atau non formal, pendidikan bisa meningkatkan kualitas wanita ketika menjalankan perannya sebagai ibu atau istri.  Namun tingkat pendidikan yang lebih baik biasanya akan memberikan kesempatan lebih luas pada wanita untuk berperan serta dalam kegiatan di luar rumah.  Inilah yang akan menjadi kontradiksi, karena ibu rumah tangga yang memilih untuk ikut mengambil bagian dalam tanggung jawab ekonomi keluarga (baik karena keterpaksaan atau keinginan sendiri) akan menyerahkan pengasuhan anak mereka pada orang lain.

     Mungkin masih belum lepas dari ingatan kasus kekerasan pada anak oleh penjaga anak (babysitter) yang terekam CCTV yang kemudian menjadi viral dan banyak diekspos media massa.  Itu hanya satu contoh bagaimana peran pengganti melakukan sesuatu yang buruk dalam pengasuhan karena seorang ibu tidak hadir dalam keseharian anak.

      Saya tidak mengatakan semua penjaga anak buruk seperti dalam ilustrasi di atas, karena saya pernah mendengar juga cerita tentang seorang penjaga anak yang baik.  Namun saya yakin kehadiran seorang ibu akan sangat berbeda maknanya dalam bathin seorang anak dibandingkan seorang penjaga anak manapun.

     Seiring dengan meningkatnya pendidikan seorang perempuan maka akan bertambah pula pengalaman dan pemahaman tentang segala sesuatu dalam kehidupan.  Beragam hal yang terjadi di sekitar selama menempuh pendidikan akan memperkaya wawasan seseorang.  

     Kebanyakan penjaga anak yang menggantikan peran seorang ibu bekerja berpendidikan lebih rendah dibanding ibu yang digantikannya.  Tentu saja apa yang bisa sampai kepada anak dari seorang ibu yang berpendidikan lebih tinggi akan berbeda dari seorang penjaga anak.  Mungkin akan menjadi perdebatan ketika masuk argumen bahwa ibu bekerja bisa memberikan fasilitas pendidikan berkualitas baik untuk untuk putra - putrinya.  Tapi pendidikan formal sebaik apapun selain cenderung lebih menekankan aspek kecerdasan intelektual biasanya tetap menyarankan pendampingan dari orang tua di luar jam sekolah.

     Jika memang seorang ibu harus terpaksa bekerja di luar rumah dengan jam kerja yang mengikat, pastikan bahwa penjagaan anak di rumah setidaknya di bawah supervisi orang terdekat yang dapat dipercaya (anggota keluarga terdekat).  Hal ini untuk mengurangi kemungkinan pelanggaran hak anak yang termasuk dalam kategori hak untuk mendapat perlindungan.
     
     Tingkat ketegangan dan tekanan setiap pekerjaan mungkin berbeda namun hampir dipastikan bahwa seorang ibu bekerja pasti terikat pada kontrak waktu yang harus dipenuhinya.  Waktu untuk ibu menyampaikan apa yang diketahui dan dipahami kepada anaknya tentu akan banyak berkurang.  Dan besar kemungkinan kehilangan momen "menyampaikan pada saat yang tepat" karena waktu bekerja seorang ibu biasanya juga waktu beraktivitas seorang anak.

     Saya yakin seorang ibu bekerja pasti mengalami saat - saat dimana anaknya menangis karena tak ingin ditinggal atau bahkan pernah mendengar permohonan secara langsung dari anaknya untuk menunggunya di rumahdan tidak perlu bekerja.  Ini adalah pendapat seorang anak.  Dan sesuai dengan konvensi tentang hak anak yang telah diratifikasi oleh negara kita, pendapat anak harus didengarkan.  Jika ibu memiliki kesempatan dan tidak memiliki alasan keterpaksaan untuk  bekerja rasanya akan jauh lebih baik jika hak anak untuk didengarkan pendapatnya dipenuhi.

No comments:

Post a Comment