Thursday, November 25, 2010

'HOMEMADE' BUMBU INSTAN 1

Oleh : Resna Natamihardja

     Bagi ibu-ibu terutama ibu bekerja, menyiapkan sarapan di pagi hari adalah tantangan tersendiri. Tantangannya adalah bagaimana menyiapkan makanan yang variatif dari hari ke hari dalam waktu yang relatif singkat.  Waktu yang terbatas membuat kita harus menyiasati agar bisa menyiapkan makanan yang tidak membutuhkan banyak waktu.  Masakan yang variatif diperlukan karena sarapan yang itu-itu saja juga bisa membuat keluarga kehilangan selera makan di rumah di pagi hari.

     Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan menyediakan bumbu instan, sehingga bisa mengurangi separuh waktu yang diperlukan untuk memasak.  Membeli bumbu instan yang siap pakai  tentu merupakan hal yang paling mudah dilakukan.  Tapi kita juga bisa membuat sendiri bumbu instan di rumah.  Keunggulan bumbu instan buatan rumah tentu saja karena kita bisa membuat bumbu yang bebas pengawet dan penyedap.

     Ada beberapa jenis bumbu instan, diantaranya bumbu instan  putih. Membuat bumbu ini tidaklah terlalu rumit, bahannya tidak banyak. Bumbu jenis ini dapat digunakan untuk beragam tumisan sayuran, nasi goreng, mie goreng dan masakan lain.  Berikut adalah resep bumbu instan (bumbu dasar) putih :

Bahan yang diperlukan :
250 gram bawang merah
50 gram bawang putih
100 gram kemiri
2 sdm merica
Minyak Goreng

Cara membuat :
1.  Kupas bawang merah & bawang putih.  Cuci bersih semua bahan.
2.  Haluskan merica, kemudian masukkan bawang merah, bawang putih dan terakhir kemiri, haluskan kembali.
3.  Panaskan minyak goreng, masak bumbu dengan api kecil hingga harum dan matang.  Angkat dan masukkan wadah tertutup.  Agar tahan lama simpan di lemari pendingin.

Masakan yang bisa dibuat dengan bumbu ini (tak hanya untuk sarapan) diantaranya :

1. Nasi/Mie Goreng;  bumbu tambahan yang diperlukan untuk membuat nasi/mie goreng adalah garam, kecap manis, kecap ikan.

2.  Tumis sayuran (misal : capcay); bumbu ini hanya perlu ditambahkan garam, gula dan kecap ikan.

3.  Tumis sayuran (misal : kangkung);  bumbu lainnya yang perlu disiapkan adalah garam, gula, terasi, irisan cabai merah.

4.  Daging atau seafood; bumbu tambahannya adalah garam, kecap ikan, saus tiram atau saus teriyaki dan bawang bombay.

dan banyak variasi masakan lain.

Wednesday, November 17, 2010

MEMAKNAI KESEDERHANAAN : SEDERHANA ITU MULIA

Oleh : Resna Natamihardja

     Tak mudah menjalankan hidup sederhana di masa sekarang ini.  Di tengah gempuran beragam strategi pemasaran produk yang menjadikan kita 'sasaran tembak'.  Bahkan ada orang yang lebih menilai apa yang kasat mata ketimbang meresapi makna dibalik apa yang terlihat. Saya ingat, cerita seorang teman tentang pengalaman parkir di sebuah pusat perbelanjaan, bahwa ketika dia memarkir sebuah kendaraan berkategori mobil mewah (yang sebenarnya bukan miliknya) sikap juru parkir begitu santun.  Tak sama dengan waktu dia memarkir motor bututnya.

 
     Rasanya sulit menemukan orang di sekitar saya yang 'memilih' hidup sederhana.  Jika pun saya menemukan orang yang sederhana, sepertinya mereka menjalani karena tak ada pilihan lain. Kekurangan yang membuat mereka hidup sederhana.

     Bahkan ada yang menganggap orang yang memilih penampilan sederhana sebagai orang yang berupaya manipulatif.  Beberapa tahun lalu saya sempat bekerja di sebuah perusahaan swasta milik perorangan yang pemiliknya pergi ke kantor dengan dandanan 'secukupnya' dan menaiki kendaraan yang 'biasa-biasa saja'.  Dan seorang teman malah berpendapat itu hanya salah satu upaya meredam gejolak karyawan yang  berupaya meningkatkan kesejahteraan (lebih dianggap salah satu trik licik majikan agar bisa tetap membayar murah pekerjanya).  Sebuah prasangka........


     Tak salah memang memilih menjalani hidup dengan 'kenyamanan' atau dengan penampilan yang membuat kita dihargai orang.  Tapi rasanya kita juga harus berhitung dengan kemampuan finansial kita. Berapa banyak orang terjerat leasing, terbelit tagihan kartu kredit atau bentuk-bentuk kredit konsumsi lainnya.  Yang semuanya dipergunakan untuk menciptakan kesan tentang dirinya.  Bukanlah sebuah kesalahan berusaha menciptakan kenyamanan hidup atau menjaga penampilan, mengelola kesan terhadap diri, tapi jika itu dilakukan tanpa perhitungan atas kemampuan finansial, bukankan ujung-ujungnya justru menyusahkan diri sendiri ? Tanpa sadar kita telah dibuat pontang-panting hanya demi mengejar penilaian orang lain.
 
     Mungkin orang lupa betapa menjalani hidup sederhana adalah salah satu bentuk keluhuran budi, upaya menenggang rasa, mengurangi kecemburuan sosial dari orang-orang yang kehidupannya kurang beruntung.  Lupa bahwa hidup sederhana adalah bukti tingkat pengendalian diri yang baik.  Orang yang memilih hidup sederhana dan konsisten dengan pilihannya adalah orang yang berhasil mengendalikan hasratnya, mengalahkan hawa nafsunya.  Salah satunya nafsu untuk mengejar penilaian orang lain.

      Mungkin ada yang ragu untuk hidup sederhana karena kekhawatiran akan mengurangi penghargaan dari orang lain.  Mungkin tidak terpikir, jika mereka menghargai kita karena apa yang kita miliki atau apa yang kita kenakan, berarti sesungguhnya mereka bukan menghargai kita tapi menghargai benda-benda tersebut.  (Hmm...jadi ingat cerita Nasrudin Hoja yang 'menyuapi' bajunya di sebuah resepsi, karena dia menyadari sang empunya hajat rupanya menyikapinya secara berbeda berdasar penampilannya, ketika datang dengan penampilan seadanya, tuan rumah tidak menyambutnya dengan penghargaan yang sama dengan ketika ia datang dengan pakaian bagusnya....)

     Lebih jauh, tak mudah untuk tetap konsisten menjalani hidup sederhana ditengah beragam tantangan di sekeliling kita.  Di tengah mulai orang-orang yang lupa bahwa ada kemuliaan di balik hidup sederhana.






Wednesday, November 3, 2010

KETIKA PERCAKAPAN MENGAMBIL KEBAIKAN YANG KITA PUNYA

Oleh : Resna Natamihardja

     Beberapa hari yang lalu, seorang teman 'membagi' kegundahan hatinya pada saya, " aku sering bingung kalau lagi kumpul-kumpul sama ibu-ibu di kantor.."

     Teman saya yang notabene juga ibu-ibu juga lalu bercerita, " kalau mereka lagi pada ngumpul begitu, diantara topik yang paling sering mereka bicarakan adalah orang lain, terutama kekurangan orang lain, kesalahan orang lain. Sementara sebagian hatiku sering 'menolak' pembicaraan itu karena rasanya tak sesuai dengan nilai-nilai yang kumiliki.  Orangtua, guru dari kecil mengajariku bahwa ghibah itu dosa, bahkan dikatakan dosa orang yang kita ceritakan itu akan berpindah pada orang yang menceritakan dan amal kebaikan kita akan menjadi miliknya."

     Setelah menarik nafas, dia melanjutkan ceritanya, " Kadang aku sampai heran, mereka kelihatan kompak dan akrab, tapi satu sama lain saling membicarakan.  seperti tak ada rasa bersalah memburuk-burukkan teman mereka sendiri."

     Selama kita hidup, hampir dipastikan kita akan selalu mengalami saat saat kebersamaan dengan orang lain yang mengharuskan kita menjalin konversasi dengan orang (atau orang-orang tersebut).  Bukan masalah jika kita memiliki banyak alternatif topik yang bisa kita jadikan materi pembicaraan dengan orang (atau orang-orang tersebut).

     Masalah adalah jika salah satu pihak dari pelaku percakapan itu memiliki keterbatasan wawasan.  Entah orang yang kita ajak bicara atau bahkan kita sendiri yang memiliki keterbatasan wawasan semacam itu.  Jika kita sama-sama ingin tetap meneruskan kesenangan menikmati moment kebersamaan itu, maka alternatif topik yang muncul adalah membicarakan orang lain, entah sisi buruk atau sisi baik seseorang.  Mungkin tak menjadi masalah untuk sebagian orang lain, tapi menjadi masalah untuk orang seperti sahabat saya. Dia punya nilai - nilai yang ditanamkan lingkungannya yang membuat dia merasa tidak nyaman, merasa bersalah berada dalam situasi tersebut, sementara di sisi lain dia juga memiliki kebutuhan untuk diakui oleh rekan - rekannya.

     Pikiran saya semakin tergelitik, jika teman - teman kantornya memang memiliki keterbatasan wawasan, mengapa pilihannya bukan bercerita tentang kebaikan orang lain.  Mengapa mereka harus bercerita tentang keburukan sesamanya sendiri?

     Saya cuma bisa menduga-duga motif mereka, mungkin diam -diam mereka ingin kelihatan lebih baik dari orang yang mereka jelek-jelekkan? Ah, jadi berprasangka... ( Perlahan dalam fikiran saya, orang yang suka bercerita tentang sisi buruk atau kekurangan orang lain jadi nampak sebagai orang bodoh yang berhati jahat. )

     Menurut saya, sahabat saya memiliki wawasan yang cukup luas, dia termasuk seorang pencinta buku.  Saya fikir dia bisa mengalihkan obyek pembicaraan dari sesuatu yang meresahkan hatinya ke hal - hal yang menenangkan hatinya.  Tapi apakah teman-teman kantornya punya wawasan atau ketertarikan yang sama? belum tentu juga. 


     Dan tiba-tiba terfikir oleh saya, jangan-jangan diantara yang sudah saya tulis juga ada yang termasuk kategori menjelek-jelekkan orang lain.  Mudah-mudahan tidak.....